by. dilapermatasari
Pagi ini Elsie merajuk, sama sekali
tidak makan. Elsie lebih banyak diam, enggan berbicara dengan ayahnya. Kalau ditanya
hanya menjawab seperlunya.
Ini karena perkara kemarin. Elsie marah
karena ayahnya tidak segera membalikan seragam baru untuk sekolahnya.
Seragamnya yang lama sudah lusuh, berubah warna hingga seakan tidak ada bedanya
dengan lap kotor di dapur rumahnya.
Padahal Elsie sudah memintanya sejak
jauh-jauh hari. Bahkan Elsie memberikan waktu dua bulan untuk ayahnya. Bukankan
itu waktu yang lama. Seharusnya waktu dua bulan sudah cukup bagi ayahnya untuk
mengumpulkan uang. Itu hanya 200ribu
kawan! Seharusnya ayahnya bisa.
Dan kemarin,saat waktu dua bulan itu habis-saat
Elsie menagih janjinya, beliau justru meminta perpanjangan waktu satu minggu!
Elsie marah. Merasa ayahnya melanggar
janjinya. Bukankah beliau sudah berjanji akan membelikan seragam itu tepat dua
bulan sejak Elsie memintanya? Dan setelah saat itu tiba, ayahnya justru
mengatakan bahwa beliau sedang tidak ada uang.
Jadilah Elsie meringkuk di sudut
kamarnya. Kerjaannya hanya tiduran, membaca buku, tiduran lagi. Benar-benar
enggan keluar dari zona nyamannya. Untungnya sekarang hari minggu, jadi ia bisa
seharian mengurung diri di kamar. Tidak ada kegiatan belajar-mengajar di
sekolah.
Tiba-tiba pintu kamar Elsie diketuk dari
luar, saat gadis itu baru akan beranjak dari ranjangnya –hendak mengambil buku
di atas meja.
“El, kau tak makan? Sejak kemarin perut
kau itu tak diisi makanan. Janganlah seperti itu, nanti kau sakit”, ujar
ayahnya yang muncul dari balik pintu.
Elsie hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Ayah minta maaf El. Ayah sungguh sedang
–“
“Tidak apa-apa”, potong Elsie.
Elsie mengambil bukunya dari meja dan mulai
membaca. Sama sekali tidak memperhatikan ayahnya lagi.
Melihat putri kecilnya masih marah, pria
dengan rambut penuh uban itu menghela nafas. “Kalau nanti kau berubah pikiran,
ayah sudah memanaskan makanannya. Kau tinggal ambil di atas tungku”, ujar beliau lalu melangkah pergi.
****
Keesokan harinya, masih dengan emosi-
Elsie menceritakan perkara itu pada Davis –teman sebangkunya-.
Elsie menceritakan hal itu panjang
lebar, berulang kali. Menggambarkan betapa kecewanya pada ayahnya.
“Ayahku begitu menyebalkan Davis. Aku
benar-benar membencinya. Kau lihat ini. Bagaimana aku bisa bertahan dengan
seragam jelek begini”, Elsie menunjuk-nunjuk lengan seragamnya.
Davis tertawa pelan, memperlihatkan
giginya yang putih. “Itu mah kaunya saja yang jorok. Kau cuci pakai apa seragam
kau itu El. Atau jangan-jangan selama ini kau tidak pernah mencucinya ya”
“Sembarangan!!”, Elsie menimpuk kepala
Davis dengan buku tulisnya.
Sementara Davis justru tertawa semakin
keras dengan wajah tak berdosanya. Elsie memberegut sebal. Beginilah jadinya
kalau kau bercerita pada teman laki-lakimu. Bukannya diberi solusi, bukannya
ditenangkan malah terus dicemooh. Diledek. Ditertawakan. Apalagi orang seperti
Davis, anak nakal yang suka bicara blak-blakan dan suka membuat temannya naik
darah. Dan Elsie sudah 5 tahun –lebih- duduk sebangku dengannya!
“Aku serius Dav. Aku benar-benar
membencinya. Bahkan kalau aku bisa memilih, aku tak akan pernah mau dilahirkan
sebagai anaknya! Aku lebih suka punya ayah yang pengertian, tahu apa kebutuhan
anaknya. Dan ayahku bukan seseorang yang seperti itu!”
Elsie menatap pensil di atas meja dan
memainkannya - di jarinya. Itu membuat perasaannya sedikit lebih baik. Tapi
Elsie tidak menyadari sesuatu, Davis sudah menghentikan tawanya. Sejak
mendengar ucapannya yang terakhir. Davis menatap Elsie dengan tatapan yang
sulit diartikan.
“Kau tahu El, sesungguhnya kau itu
beruntung sekali”
Elsie mengerutkan keningnya, menatap
Davis –tidak mengerti.
“El, kalau kau selalu melihat dunia dari
sudut pandang seperti itu, maka kau tidak akan pernah mengerti betapa kau itu
beruntung sekali”
“Jangan terlalu sering mendongak ke atas
El. Kau juga perlu melihat orang-orang yang kurang beruntung di bawahmu”, Davis
tersenyum tipis. Sangat tipis hingga Elsie tidak bisa melihatnya.
Elsie menelan ludah. Tiba-tiba saja ada
rasa nyeri yang menekan dadanya. Entah kenapa kata-kata Davis tadi seakan
berhasil menjangkau sampai ke hatinya, menyentuhnya dengan lembut. Elsie baru
sadar, ia baru ingat. Davis adalah yatim piatu. Orangtuanya sudah meninggal
sejak Davis masih kecil. Kecelakaan. Dan itu membuat Davis tinggal dengan kakeknya
–di pinggir desa. Bagaimana bisa Elsie melupakan hal itu.
Elsie mengerjapkan matanya. Astaga, apa yang baru saja Elsie
lakukan. Bagaimana bisa Elsie dengan marahnya, mengutuk ayahnya sendiri,
menyalahkan beliau. Begitu menggebu-gebu menceritakan aib seorang ayah pada
anak yang justru sudah tidak punya sosok itu dalam hidupnya.
“El, Ayahmu sudah sangat hebat sekali
mau membelikannya-walaupun mungkin sedikit terlambat. Kau pasti juga tahu bukan
berapa banyak kebutuhan sebuah keluarga”
“Walaupun ayahmu bukanlah satu-satunya
orang yang bekerja dikeluargamu, tapi tetap saja, kepala keluargalah yang
sebagai tumpuannya. Ibu dan kakakmu hanya bersifat membantu”
Davis sekali lagi tersenyum, menatap
tepat ke arah Elsie. Seakan mengatakan, “Mengertilah
El”
“Aku tak masalah mendengarkan kau
meluapkan emosi begitu. Aku juga tak akan masalah mendengarkan kau marah-marah
karena ayahmu yang tak kunjung membelikan seragam baru. Sungguh. Tapi aku tak
akan sanggup kalau aku mendengar seseorang yang membenci ayahnya. Mengatakan
kalau ia menyesal punya ayah seperti itu. Sungguh El, segala sesuatu yang
terjadi di dunia ini sudah ada yang mengaturnya. Tidak ada yang bisa
menciptakan dan menolak takdir itu. Tidak kau, tidak juga aku”
Elsie menundukkan wajahnya, tidak berani
bertatap muka. Ini pertama kalinya lelaki nakal itu berkata selembut ini. Ini
pertama kalinya Davis mengatakan sesuatu yang serius, bukan sebuah lelucon yang
biasa anak laki-laki lakukan.
Sungguh, Davis benar. Tidak ada sesuatu
halpun yang salah dari apa yang baru saja lelaki itu sampaikan.
“Maaf”, ujar Elsie lirih.
“Kau pasti tahu bukan, siapa yang berhak
mendengar kata itu”, ujar Davis pelan. Tentu saja Elsie tahu, yang berhak
mendengarnya adalah ayahnya sendiri.
“Katakanlah sebelum terlambat El. Kau
pasti tak akan pernah sanggup menjalani hidup tanpa beliau”, ujar Davis sebelum
akhirnya keluar dari kelas. Meninggalkan Elsie di dalam kelas sendirian.
****
Selama sisa jam pelajaran, Elsie
kehilangan semangat belajarnya. Setiap kali melihat Davis yang duduk diam di
sampingnya, Elsie harus menahan tangisnya mati-matian. Sungguh, melihat lelaki
itu membuatnya merasa kecil. Kecil sekali. Betapa hebat beban yang Davis
tanggung tanpa orangtua. Lelaki itu begitu kuat. Sedangkan dia? Justru tidak
bersyukur masih memiliki orangtua lengkap. Masih saja menyia-nyiakan keberadaan
malaikat-malaikatnya. Karena itu, Elsie ingin segera pulang ke rumah. Meminta
maaf pada ayahnya. Seperti yang sudah seharusnya ia lakukan.
Maka, begitu Elsie melihat sosok itu
sedang menjemur gabah di halaman rumahnya, Elsie tak kuasa menahan haru.
Lihatlah ayahnya, begitu hitam terpanggang sinar matahari setiap hari. Tubuhnya
yang kecil, dengan keringat yang deras mengalir. Tidak ada pemandangan paling
nenyedihkan selain ini.
Ya Allah, betapa selama ini Elsie telah
dibutakan oleh egonya. Betapa butanya ia hingga selama ini tidak bisa melihat
kasih sayang ayahnya secara utuh. Selalu menyalahkan setiap ikhtiar yang ayahnya
lakukan, padahal itu semata-mata untuk membahagiakan Elsie sendiri. Betapa
kejamnya ia. Dengan angkuhnya Elsie memalingkan hatinya selama ini.
Elsie berhambur kearah ayahnya dengan
linangan air mata. Masih dengan seragam sekolahnya yang lusuh, “Maafkan Elsie
yah, sungguh maafkan Elsie”
“Kau kenapa sayang”, ujar beliau sambil
membelai kepala anaknya.
“Elsie sungguh tidak perlu seragam baru,
ayah. Elsie sungguh tidak perlu. Maafkan Elsie. Mulai sekarang Elsie tidak akan
mengeluh lagi. Elsie tidak akan mempermasalahkan seragam lusuh lagi. El juga
tidak akan masalah kalau sepatu El sudah jelek. Elsie akan menerima semuanya
yah. Sungguh”, Elsie mengelap ingusnya. Lalu menatap ayahnya yang tersenyum.
“Kau tak perlu menahannya El. Kau boleh meminta apapun pada ayah. Apapun.
Asalkan ayah bisa mewujudkannya. Tapi kau harus janji. Kau harus jadi anak yang
baik. Patuh pada ibu. Patuh pada ayah. Jangan membantah abang kau. Kau harus
rajin belajar. Dan yang paling penting, jangan tinggalkan ibadah kau El. Maka sungguh,
apapun yang kau pinta, apapun yang kau harapkan, asalkan ayah bisa, ayah pasti
akan memberikannya”.
Ayahnya lalu masuk ke dalam rumah, lalu
keluar dengan bungkusan putih-transparan yang memperlihatkan isinya. Sepasang
seragam yang Elsie inginkan. Astaga,
darimana ayahnya mendapat uang. Padahal baru sabtu kemarin dia merajuk, dan
seninnya sudah mendapatkan yang ia inginkan. Lihatlah ayahnya. Demi Tuhan, lihatlah
perjuangan ayahnya.
Ternyata kata-kata orang bijak yang
pernah Elsie dengar memang benar, Janganlah
menyakiti hati seorang perempuan – karena sungguh, dibalik itu semua seorang
ayah akan berjuang mati-matian membuatnya bahagia.
Elsie berusaha menahan tangisnya, tapi
ia tidak bisa. Elsie segera berlari, kembali memeluk ayahnya. “El janji ayah,
El janji. El akan jadi anak yang baik. Elsie akan patuh. Akan sekolah dengan
benar. Elsie sayang ayah”
“Ayah juga sayang Elsie. Sangat
menyayangi Elsie”, ayahnya memeluk Elsie lebih dalam. Membuat kepala Elsie
benar-benar menempel di dadanya.
Sungguh
Tuhan, tidak ada hal yang paling indah dalam hidupku, selain melihatnya tumbuh
dewasa. Menjadi wanita yang baik, dan cantik. Yang membuat bangga kedua orangtuanya.
Jadilah
seperti itu El. Jadilah seperti itu.
*****
~The End~
Komentar
Posting Komentar